Perbedaan Pandangan RUU DPR dan Putusan MK Soal Pilkada
Baru-baru ini ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan RUU Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengenai persyaratan calon kepala daerah. Dalam pernyataan yang disampaikan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jokowi bahwa menekankan pentingnya menghargai kewenangan setiap lembaga negara. “Kita harus menghormati keputusan dari masing-masing lembaga negara,” ujar Presiden Jokowi pada Rabu (21/8), seperti yang dilansir dari validnews.id.
Menurut Jokowi, perbedaan pandangan antara lembaga negara merupakan bagian dari proses konstitusional yang sering terjadi dalam sistem pemerintahan. Hal ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan dua putusan penting pada Selasa (20/8), yakni Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, yang berkaitan dengan syarat pencalonan kepala daerah.
Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 merevisi ambang batas dukungan partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan kepala daerah, sementara Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Di sisi lain, Badan Legislasi DPR RI juga menyesuaikan beberapa ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) berdasarkan putusan MK, namun tetap mempertahankan beberapa aturan lama, seperti ambang batas pencalonan untuk partai yang memiliki kursi di DPRD.
Achmad Baidowi, Wakil Ketua Baleg DPR RI, menjelaskan bahwa aturan baru ini mengakomodasi partai nonparlemen yang sebelumnya tidak dapat mendaftarkan calon kepala daerah ke KPU. “Ini mengadopsi putusan MK yang memberikan kesempatan bagi partai nonparlemen di daerah untuk mencalonkan diri,” jelasnya.
Namun, DPR tetap merujuk pada putusan Mahkamah Agung terkait batas usia minimum calon kepala daerah, yang dihitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih. Dalam pembahasan di Panitia Kerja RUU Pilkada, disepakati bahwa usia minimum calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun, dan 25 tahun untuk calon bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.
Perbedaan pandangan antara DPR dan MK ini menunjukkan dinamika yang terjadi dalam proses legislasi di Indonesia, di mana setiap lembaga memiliki peran dan pandangan yang mungkin berbeda, namun tetap dalam koridor konstitusi yang berlaku.